Mengapa Menunaikan Zakat Lewat Amil?

Author Avatar

Humas Asfa

Joined: Aug 2024

Oleh: KH. Anang Rikza Masyhadi, M.A., Ph.D
Ahli dan Praktisi Filantropi Islam

Badan Amal Charities Aid Foundation (CAF) menobatkan Indonesia sebagai negara yang warganya sangat dermawan. Gemar menyisihkan sebagian harta yang dimiliki untuk membantu orang lain. Khususnya mereka yang sedang mengalami kemalangan.
Penilaian CAF didasarkan pada angka World Giving Index (WGI) 2022. Skor yang didapat Indonesia adalah 68 persen. Meskipun angkanya lebih rendah dibandingkan tiga tahun sebelumnya, tetapi tidak menurunkan derajat Indonesia sebagai negeri yang warganya sangat dermawan.

Islam mewajibkan umatnya untuk berbagi harta. Ada banyak saluran: zakat, infak, sedekah, wakaf, hibah, wasiat, wakaf, dan lain-lain. Semua saluran itu disediakan oleh syariat Islam bagi setiap mukmin untuk mendekatkan dirinya kepada Allah dengan hartanya, sekaligus jalan menuju surga.

Khusus untuk zakat, syariat Islam menetapkan perlunya petugas khusus yang melaksanakan dan mengelolanya. Namanya amil zakat. Al-Quran menyatakan demikian dan Rasulullah menyontohkannya dalam praktek.

Maka, zakat bisa ditunaikan secara mandiri tanpa melalui amil, atau bisa juga melalui perantara amil. Mengapa harus lewat amil? Amil adalah orang yang ditunjuk menjalankan tugas menghimpun, mengelola dan mendistribusikan zakat.

Sasaran tugas amil ada dua: muzakki dan mustahik sekaligus. Kepada muzakki, amil proaktif mengingatkan agar segera menunaikan zakatnya. Kepada mustahik, amil mendistribusikan dana zakat yaitu kepada 8 golongan sebagaimana dituntunkan syariat Islam.

Zakat adalah ibadah sosial yang berdimensi ganda: vertikal dan horizontal. Vertikal karena zakat itu bagian dari ibadah, salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah, sama seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain. Horizontal, karena zakat ini dilaksanakan melalui proses distribusi kekayaan dari orang-orang mampu kepada para fakir miskin dan yang membutuhkan.

Karenanya, Islam menjelaskan ibadah ini akan lebih baik apabila dilaksanakan dengan melibatkan amil. Pada zaman Nabi Muhammad SAW, ada sahabat yang diutus untuk mengelola zakat, seperti Ibnu Abi Lubiah dan Muadz bin Jabal. Tugas keduanya adalah pemungut zakat (amil). Artinya, sejak zaman Rasulullah sudah ada yang namanya amil zakat.

Amil zakat harus proaktif mengingatkan para muzakki untuk menunaikan zakatnya, tentu dengan cara yang ma’ruf. Mengapa zakat harus diambil dari orang-orang mampu untuk diberikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya? Karena zakat adalah penunaian hak. Allah menitipkan hak orang-orang fakir miskin di dalam harta orang-orang kaya.

وَٱلَّذِينَ فِيٓ أَمۡوَٰلِهِمۡ حَقّٞ مَّعۡلُومٞ لِّلسَّآئِلِ وَٱلۡمَحۡرُومِ
Dan orang-orang yang dalam hartanya disisipkan bagian tertentu bagi orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta. [QS. Al-Ma’arij (70): 24-25)

Jadi, pekerjaan amil zakat sungguh berat, selain mendata para muzakki dan mustahik, juga berkewajiban mendistribusikan zakat secara merata dan tepat sasaran sesuai aturan.

Hikmah Berzakat melalui Amil

Ada beberapa hikmah berzakat melalui amil. Pertama, supaya membatasi kontak langsung antara muzakki dengan mustahik, antara yang berzakat dan yang menerima zakat. Ini sangat mendasar, karena zakat bukan pemberian, tetapi penunaian hak. Ada hak orang lain di dalam harta kita yang wajib disalurkan. Makanya, dosa besar bagi yang menahan hak orang lain itu, dan ancamannya sangat keras dari Allah dan Rasul-Nya. Dengan demikian, supaya muzakki tidak merasa telah memberi; dan mustahik juga tidak merasa bahwa itu semata-mata pemberian.

Kedua, supaya zakat itu distribusinya lebih luas, merata, dan tepat sasaran. Tidak lagi tergantung pada subyektifitas muzakki. Jika dibagi sendiri, dikhawatirkan ada kecenderungan hanya orang yang disukai yang dapat zakat; orang yang kebetulan tidak disukai, atau malah dimusuhi, tidak dapat zakat.

Apalagi dalam ayat tadi disinyalir bahwa ada dua tipe orang miskin, yaitu orang miskin yang meminta dan yang tidak meminta misalnya karena untuk menjaga kehormatan dirinya dan keluarganya, meskipun faktanya ia adalah miskin dan membutuhkan pertolongan.

Tugas amil harus mampu mendeteksi semua itu. Maka, amil mesti memiliki konsep dan mekanisme kerja yang rapi dan berkesinambungan sepanjang tahun dan selamanya.

Ketiga, supaya distribusinya lebih merata mencakup 8 golongan mustahik: fakir, miskin, amil, mualaf, riqab, gharim, fi sabilillah, ibnu sabil. Jika dibagikan sendiri, apalagi jumlahnya besar, akan sulit merata. Mungkin hanya yang fakir miskin yang dekat-dekat saja yang mendapatkan zakat. Padahal ada golongan golongan lain yang juga harus diberi zakat.

Siapa yang memikirkan para mualaf, gharimin, fi sabilillah dan ibnu sabil? Bagaimana mendata mereka? Bagaimana menganalisis kebutuhan mereka? Bagaimana konsep mendistribusikannya? Bagaimana strategi agar mereka berangsur-angsur bergeser dari posisi mustahik supaya lambat laun menjadi muzakki? Dan lain sebagainya.

Itulah mengapa amil sebaiknya berupa kelembagaan, bukan lagi personal, mengingat tugas dan tanggungjawabnya yang sangat besar dan berat. Selain harus amanah, juga harus akuntabel dan obyektif. Dalam distribusi zakat, amil harus bekerja profesional dan obyektif berdasarkan fakta di lapangan, bukan atas dasar suka atau tidak suka.

Maka dari itu, berzakatlah melalui amil yang amanah dan kredibel. Agar dana zakat yang kita salurkan benar-benar tepat sasaran dan benar-benar berfungsi memberdayakan dan memajukan umat dan bangsa.

Reviews

100 %

User Score

1 ratings
Rate This